Kamis, 04 April 2013

AQIDAH


Pentingnya Mengenal Al-Asma` Al-Husna (1)
Mengenal dan mempelajari nama-nama dan sifat-sifat Allah sangatlah agung, penuh dengan kebaikan dan keutamaan, serta mengandung beraneka ragam buah dan manfaatnya.
Keutamaan dan keagungan perihal mendalami ilmu Al-Asma` Al-Husna akan lebih jelas dengan memperhatikan beberapa keterangan berikut.

Pertama: ilmu tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah ilmu yang paling mulia dan paling utama, yang kedudukannya paling tinggi dan derajatnya paling agung. Tentunya hal ini sangat dimaklumi karena kemuliaan suatu ilmu pengetahuan bergantung kepada jenis pengetahuan yang dipelajari dalam ilmu itu. Sementara itu, telah dimaklumi pula bahwa tiada yang lebih mulia dan lebih utama daripada ilmu tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah yang terkandung dalam Al-Qur`an yang mulia dan Sunnah Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam.
Abu Bakr Ibnul ‘Araby rahimahullah berkata, “Kemuliaan sebuah ilmu bergantung kepada apa-apa yang diilmui padanya. Sementara itu, (mengenal Allah) Al-Bari adalah semulia-mulia pengetahuan. Oleh karena itu, mengilmui nama-nama-Nya adalah ilmu yang paling mulia.”[1]
Oleh karena itu, mempelajari dan mendalami makna Al-Asma` Al-Husna adalah amalan yang paling utama dan mulia.

Kedua: mengenal Allah dan memahami nama-nama dan sifat-sifat-Nya akan menambah kecintaan hamba kepada Rabb-nya, akan membuat seorang hamba semakin mengagungkan dan membesarkan-Nya, lebih mengikhlaskan segala harapan dan tawakkal hanya kepada-Nya, serta membuat rasa takutnya terhadap Allah semakin mendalam. Tatkala pengetahuan dan pemahaman seorang hamba akan nama-nama dan sifat-sifat Rabb-nya semakin kuat dan mendalam, akan semakin kuat pula tingkat penghambaannya kepada Allah, semakin tulus sikap berserah dirinya  kepada syariat Allah, serta semakin tunduk kepada perintah Allah dan semakin jauh meninggalkan larangan-Nya.

Ketiga: mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya adalah dasar keimanan dan, dengan itu pula, iman akan semakin bertambah.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’dy rahimahullah berkata, “Sesungguhnya, mengimani dan mengenal Al-Asma` Al-Husnamencakup tiga jenis tauhid: tauhid rubûbiyyah, tauhid ulûhiyyah, dan tauhid Al-Asma` wa Ash-Shifat. Tiga jenis tauhid ini adalah perputaran dan ruh iman, serta pokok dan puncak (keimanan). Oleh karena itu, setiap kali pengetahuan hamba akan nama-nama dan sifat-sifat Allah semakin bertambah, akan bertambah pula keimanan dan akan semakin kuat keyakinan (hamba) tersebut.”[2]
Demikian pula sebaliknya, siapa saja yang pengetahuannya tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah kurang, kurang pula keimanannya.
Siapa saja yang mengenal Allah, ia akan mengenal segala sesuatu selain Allah. Namun, siapa saja yang kondisinya justru sebaliknya, perhatikanlah firman-Nya,
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ.
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa terhadap Allah maka Allah menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” [Al-Hasyr: 19]
Cermatilah ayat di atas. Tatkala seseorang lupa terhadap Allah, Allah membuatnya lupa terhadap dirinya sendiri, lupa terhadap apa-apa yang merupakan kebaikannya, serta lupa terhadap sebab-sebab keberuntungannya di dunia dan akhirat.

Keempat: sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengadakan makhluk yang sebelumnya mereka tidaklah pernah terwujud dan tidak pernah tersebut. Allah ‘Azza wa Jalla juga memudahkan segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi untuk mereka serta memberikan berbagai nikmat kepada mereka yang tidak mungkin bisa dijumlah dan dihitung. Seluruh hal tersebut adalah agar mereka mengenal Allah dan menyembah-Nya. Allah Jalla Sya`nuhuberfirman,
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا.
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit, seperti itu pula bumi. Perintah-Nya berlaku padanya agar kalian mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” [Ath-Thalaq: 12]
Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman pula,
قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الْأَرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَنْدَادًا ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ. وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِنْ فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاءً لِلسَّائِلِينَ. ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ ائْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ.
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya, patutkah kalian kafir terhadap Yang menciptakan bumi dalam dua hari dan mengadakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah Rabb alam semesta.’ Di bumi itu, Dia menciptakan gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan padanya Dia menentukan kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat hari. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian, Dia menuju langit, sedang langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, ‘Datanglah kalian berdua menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.’ Keduanya menjawab, ‘Kami datang dengan suka hati.’.” [Fushshilat: 9-11]
Allah ‘Azza Dzikruhu juga menyatakan,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ. مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ. إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِيْنُ.
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, kecuali supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka tidak pula menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi Rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kukuh.” [Adz-Dzariyat: 56-58]

Oleh karena itu, usaha seorang hamba dalam mengenal dan mempelajari nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah sesuai dengan maksud penciptaannya. Meninggalkan dan menelantarkan hal tersebut tergolong melalaikan maksud penciptaannya. Karena, sangatlah tidak layak seorang makhluk yang lemah yang telah mendapatkan berbagai macam keutamaan serta telah merasakan beraneka ragam karunia dan nikmat Allah, tetapi ia jahil terhadapRabb-nya serta berpaling dari mengenal kebesaran, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya.

Kelima: sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai nama-nama dan sifat-sifat-Nya serta mencintai timbulnya pengaruh nama-nama dan sifat-sifat-Nya kepada makhluk. Tentunya hal ini merupakan bagian dari kesempurnaan Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
Di antara nama-nama Allah ‘Azza wa Jalla adalah Ar-Rahman danAr-Rahim[3] yang Maha merahmati makhluk dengan berbagai nikmat. -Sebagai contoh-, perhatikanlah surah Ar-Rahman, dari awal hingga akhir surah, yang menunjukkan rahmat Allah yang maha luas. Pada awal surah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ. عَلَّمَ الْقُرْآنَ. خَلَقَ الْإِنْسَانَ. عَلَّمَهُ الْبَيَانَ. الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ. وَالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ. وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ. أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ. وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ. وَالْأَرْضَ وَضَعَهَا لِلْأَنَامِ. فِيهَا فَاكِهَةٌ وَالنَّخْلُ ذَاتُ الْأَكْمَامِ. وَالْحَبُّ ذُو الْعَصْفِ وَالرَّيْحَانُ. فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ.
“(Allah) Yang Maha Merahmati, Yang telah mengajarkan Al-Qur`an. Dia menciptakan manusia, Mengajarnya agar pandai berbicara. Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. Tumbuh-tumbuhan dan pepohonan tunduk kepada-Nya. Dan Dia telah meninggikan langit dan meletakkan neraca (keadilan) supaya kalian jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu secara adil dan janganlah kalian mengurangi neraca itu. Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk-(Nya). Di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang. Dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang baunya harum. Maka nikmat Rabb kalian yang manakah yang kalian dustakan?” [Ar-Rahman: 1-13]
Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman,
فَانْظُرْ إِلَى آثَارِ رَحْمَتِ اللَّهِ كَيْفَ يُحْيِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا إِنَّ ذَلِكَ لَمُحْيِ الْمَوْتَى وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ.
“Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan bumi yang sudah mati. Sesungguhnya (Rabb yang berkuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” [Ar-Rûm: 50]
Karena rahmat Allah, Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang mempunyai sifat merahmati makhluk lain sebagaimana yang ditunjukkan dalam nash-nash dalil yang sangat banyak.
Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Al-‘Alim ‘Yang Maha Mengetahui’ dan Allah mencintai orang-orang yang berilmu sebagaimana dalam nash-nash dalil yang sangat banyak.
Allah adalah At-Tawwab ‘Maha Menerima Taubat’ dan Allah mencintai orang-orang yang bertaubat,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ.
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” [Al-Baqarah: 222]
Demikianlah seterusnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Demikianlah keadaan nama-nama Allah yang maha husna. Makhluk yang paling Dia cintai adalah siapa saja yang bersifat dengan konsekuensi dari (Al-Asma` Al-Husna itu). Sedangkan, (makhluk) yang paling Dia benci adalah siapa saja yang bersifat dengan kebalikan dari (Al-Asma` Al-Husnaitu). Oleh karena itu, (Allah) membenci orang kafir, zhalim, jahil, yang berhati keras, bakhil, penakut, hina, dan bejat. Sementara itu, (Allah) Subhanahu adalah Jamil ‘Maha indah, elok’, cinta kepada keindahan; Alim, cinta kepada ulama; Rahim, cinta kepada orang yang merahmati; Muhsin ‘Maha Memberi Kebaikan’, cinta kepada orang yang berbuat kebaikan; Syakûr ‘Maha Pembalas Jasa’, cinta kepada orang yang bersyukur; Shabûr ‘Yang Maha Sabar’[4] cinta kepada orang yang bersabar; Jawwad ‘Maha Dermawan’[5], cinta kepada orang-orang yang dermawan dan berbuat kebajikan; Sattar[6], cinta kepada As-SitrQadir, mencela kelemahan -“dan mukmin yang kuat lebih Dia cintai daripada mukmin yang lemah”-[7]‘Afûw‘Maha Pemaaf’, cinta kepada sifat pemaaf; dan Witr ‘Yang Maha Satu’, cinta kepada yang witir[8]. Setiap hal yang Allah cintai merupakan pengaruh dan konsekuensi dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Sedangkan, setiap hal yang Dia benci berasal dari apa-apa yang bertentangan dan berlawanan dengan (pengaruh dan konsekuensi dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya).
Kenam: orang yang benar-benar mengenal Allah ‘Azza wa Jallaakan berdalil dengan sifat-sifat dan perbuatan Allah terhadap segala sesuatu yang Dia perbuat dan segala sesuatu yang Dia syariatkan. Karena, seluruh perbuatan Allah adalah keadilan, keutamaan, dan hikmah, yang telah menjadi konsekuensi dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Oleh karena itu, tiada suatu apapun yang Dia syariatkan, kecuali sesuai dengan konsekuensi tersebut. Sehingga, segala hal yang Allah beritakan adalah sesuatu yang hak dan benar, sedang segala perintah dan larangan-Nya adalah keadilan dan hikmah.
Misalnya, seorang hamba memperhatikan Al-Qur`an dan segala sesuatu yang Allah beritakan kepada makhluk melalui lisan para rasul tentang nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-Nya serta tentang keharusan menyucikan dan membesarkan Allah terhadap segala sesuatu yang tidak layak. Juga, ia memperhatikan bagaimana perbuatan Allah kepada para wali yang memurnikan ibadah hanya kepada-Nya dan kenikmatan yang mereka peroleh karena itu, ataupun ia memperhatikan bagaimana keadaan orang-orang yang menentang-Nya dan kebinasan akibat perbuatan mereka. Berdasarkan hal ini, orang-orang yang memahami nama-nama dan sifat-sifat-Nya akan berdalilkan bahwa Allah adalah satu-satu-Nya Ilah yang berhak diibadahi, “Yang Maha mampu atas segala sesuatu”, “Yang Maha Mengetahui segala sesuatu”, “Yang siksaan-Nya keras”, “Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”, “Yang Maha Berkuasa lagi Maha Bijaksana”, “Yang Maha melakukan segala sesuatu yang Dia kehendaki”, dan seterusnya berupa hal-hal yang menunjukkan rahmat, keadilan, keutamaan, dan hikmah AllahJalla wa ‘Ala.
Apabila seorang hamba memperhatikan hal di atas, tidaklah diragukan bahwa hal tersebut akan menambah keyakinannya, memperkuat imannya, menyempurnakan tawakkalnya, dan semakin menambah penyerahan dirinya kepada Allah.

Ketujuh: mengenal Allah dan mempelajari nama-nama dan sifat-sifat-Nya adalah perniagaan yang sangat menguntungkan. Di antara keuntungannya adalah membuat jiwa menjadi tenang, hati menjadi tentram, dada menjadi lapang dan bersinar, merasakan keindahan surga Firdaus pada hari kiamat, melihat wajah Allah Yang Maha Agung lagi Maha Mulia, meraih keridhaan Allah, dan selamat dari kemurkaan dan siksaan-Nya. Insya Allah, keuntungan-keuntungan tersebut akan lebih tampak lagi pada uraian Al-Asma` Al-Husna yang akan diterangkan dalam tulisan ini secara bersambung.

Kedelapan: berilmu tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah penjaga dari ketergelinciran, pembuka pintu amalan shalih, pemacu untuk menyongsong segala ketaatan, penghardik dari dosa dan maksiat, pembersih jiwa dari sikap-sikap tercela, penghibur pada masa musibah dan petaka, pengawal dalam menghadapi gangguan syaithan, penyeru kepada akhlak mulia dan fadhilah, serta lain sebagainya yang merupakan buah dan manfaat ilmu Al-Asma` Al-Husna.

Kesembilan: mempelajari nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah dasar pokok untuk mengetahui segala ilmu pengetahuan yang lain. Hal ini karena yang dipelajari -selain ilmu tentang Allah Tabaraka wa Ta’ala- terbagi dua:
  1. Makhluk-makhluk yang diadakan dan diciptakan oleh AllahTa’ala.
  2. Perintah-perintah yang, dengannya, Allah memerintah makhluk, baik berupa perintah kauny maupun perintahsyar’iy.
Sedangkan, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,
أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ
“Ingatlah bahwa mencipta dan memerintah hanyalah hak (Allah).”[Al-A’raf: 54]
Telah dimaklumi bahwa segala ciptaan dan perintah Allah adalah baik, dibangun di atas kemaslahatan, rahmat, dan kasih sayang untuk segenap makhluk. Seluruh hal tersebut adalah pengaruh dari kandungan Al-Asma` Al-Husna. Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa penciptaan dan perintah bersumber dari Al-Asma` Al-Husna Allah Jalla Jalaluhu. Sebagaimana, segala sesuatu yang ada -selain Allah- adalah karena diadakan oleh Allah, sedang keberadaan selain-Nya adalah ikut kepada keberadaan-Nya, dan makhluk yang dicipta ikut kepada Yang Menciptakannya maka demikian pula ilmu tentang Allah adalah sumber segala ilmu yang lain. Oleh karena itu, berilmu tentang Al-Asma` Al-Husna adalah sumber ilmu pengetahuan yang lain.[10]

Kesepuluh: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu. Barangsiapa yang menghitung (nama-nama) tersebut, ia akan dimasukkan ke dalam surga.”
Insya Allah, akan datang, pembahasan yang berkaitan dengan makna menghitung Al-Asma` Al-Husna, bahwa maknanya bukan hanya sekadar menjumlah dan menghafalkannya, melainkan juga mengetahui makna dan kandungannya sehingga tiada jalan bagi siapa saja yang ingin meraih keutamaan yang tersurat dalam hadits di atas, kecuali dengan mempelajari Al-Asma` Al-Husna sesuai dengan jalan yang benar dan pemahaman lurus.

Kesebelas: ayat-ayat yang menyebutkan nama-nama dan sifat-sifat Allah kedudukannya yang paling agung dalam Al-Qur`an Al-Karim melebihi ayat lain[11]. Oleh karena itu, ayat yang paling agung adalah ayat Kursi -yang mengandung sejumlah sifat dan beberapa nama Allah- sebagaimana yang diterangkan dalam hadits Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada beliau,
يَا أَبَا الْمُنْذِرِ أَتَدْرِي أَيُّ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَعَكَ أَعْظَمُ قَالَ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ يَا أَبَا الْمُنْذِرِ أَتَدْرِي أَيُّ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَعَكَ أَعْظَمُ قَالَ قُلْتُ { اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ } قَالَ فَضَرَبَ فِي صَدْرِي وَقَالَ وَاللَّهِ لِيَهْنِكَ الْعِلْمُ أَبَا الْمُنْذِرِ
“Wahai Abul Mundzir (Ubay), ayat apa yang paling agung dari kitab Allah yang kamu hafal?” Saya (Ubay) menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau (kembali) bertanya, “Wahai Abul Mundzir, ayat apa yang paling agung dari kitab Allah yang kamu hafal?” Saya menjawab, “Allahu La Ilaha Illa Huwal Hayyul Qayyûm[ayat Kursi],” maka beliau memukul dadaku seraya berkata, “Demi Allah, ilmu akan membahagiakanmu, wahai Abul Mundzir.” [12]
Demikian pula keberadaan dan keutamaan surah Al-Fatihah yang telah dikenal dan dimaklumi, di antaranya adalah sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyifatkan surah Al-Fatihah,
هِيَ أَعْظَمُ السُّوَرِ فِي الْقُرْآنِ
“(Al-Fatihah) itu adalah seagung-agung surah dalam Al-Qur`an.”[13]
Juga keutamaan surah Al-Ikhlash yang mengandung nama-nama dan sifat-sifat Allah. Salah satu keutamaannya tertera dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّهَا لَتَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ
“Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya (surah Al-Ikhlash) itu senilai sepertiga Al-Qur`an.” [14]
Keterangan di atas menunjukkan keagungan dan kemuliaan mempelajari nama-nama dan sifat-sifat Allah ‘Azza wa Jalla.

Demikian beberapa hal yang menunjukkan pentingnya mempelajariAl-Asma` Al-Husna dan betapa perlunya seorang hamba untuk mendalaminya.
Perlu kami ingatkan pula bahwa pembahasan Al-Asma` Al-Husnabersumber dari Al-Qur`an dan Sunnah, bukan bersumber dari akal, perasaan, eksperimen, inspirasi, dan adat istiadat. Ini adalah kaidah dasar yang harus kami ingatkan dalam tulisan ini mengingat bahwa banyak di antara kaum muslimin yang tertipu dengan kepandaian sebagian orang, yang hanya berlari di belakang dunia atau terkungkung oleh hawa nafsu dan was-was syaithan, dengan membawakan kandungan dan manfaat Al-Asma` Al-Husna yang tidak pernah ditunjukkan oleh tuntunan Al-Qur`an dan Sunnah.
Semoga Allah memudahkan segala sebab kebaikan untuk kita semua dan menjauhkan kita semua dari segala kejelekan. Wallahu Ta’alaA’lam.



Mengenal Aqidah Islamiah
Aqidah islamiah adalah aqidah yang Allah Ta’ala utus para rasul dengan membawanya, menurunkan kitab-kitab untuk menjelaskannya serta mewajibkan kepada jin dan manusia untuk menerima dan mengamalkannya.
Allah Ta’ala berfirman, “Sungguh kami telah mengutus rasul kepada setiap umat, untuk menyerukan: Hendaknya kalian semua menyembah Allah dan jauhilah taghut (semua sembahan selain Allah).” (QS. An-Nahl: 36) Allah Ta’ala berfirman, “Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu, agar kamu tidak menyembah selain Allah.” (QS. Hud: 1-2) dan Allah Ta’ala berfirman, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka semua beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Melihat kenyataan dan urgensi aqidah islamiah di atas, maka sudah sepantasnya bagi setiap manusia -terlebih lagi seorang muslim- untuk menghabiskan seluruh umurnya untuk memperhatikannya, mempelajarinya dan mengamalkannya karena memang hanya untuk itulah Allah menciptakan mereka.
Karenanya pada pembahasan kali ini kami akan mengangkat permasalahan ini, maka kami katakan:
A. Definisi Aqidah.
Secara etimologi: Kata aqidah berasal dari kata al-‘aqdu yang bermakna ikatan dan simpul yang kuat.
[Mu’jam Maqayis Al-Lughah: 4/86-90 dan Lisan Al-arab: 3/296-300]
Adapun secara terminologi maka dia mempunyai dua sudut tinjauan:
1. Secara umum: Dia adalah sebuah ketetapan akal yang bersifat pasti, baik hukum tersebut benar maupun batil.
Kalau ketatapan akal itu sesuai dengan kenyataan dan sesuai dengan wahyu Allah maka dia dinamakan aqidah yang benar (al-aqidah ash-shahihah) dan akan melahirkan keselamatan dari siksaan Allah dan kebahagiaan di dunia dan akhirat, seperti keyakinan kaum muslimin akan keesaan Allah. Dan kalau ketetapan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan dan bertentangan dengan wahyu Allah maka dia dianamakan aqidah yang batil dan akan melahirkan siksaan dan kecelakaan bagi pemeluknya di dunia maupun di akhirat, seperti keyakinan orang-orang Nashrani yang menyatakan bahwa Allah itu adalah salah satu dari tiga sembahan (trinitas).
2. Secara khusus. Aqidah secara khusus bermakna aqidah islam, yaitu keimanan yang pasti kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitabNya, para rasul-Nya, kepada hari kiamat, takdir yang baik dan yang buruk. Serta beriman dengan semua yang datang dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih berupa pokok-pokok agama, perintah-perintahnya dan kabar-kabarnya. Serta beriman dengan semua yang disepakati oleh para pendahulu yang saleh dan berserah diri kepada Allah Ta’ala dalam hukum-Nya, perintah-Nya, takdir-Nya dan syariat-Nya, serta berserah diri kepada Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- dengan ketaatan, pemberi hukum dan pengikutan.
[Mabahits Aqidah Ahlis Sunnah wal Jamaah karya Asy-Syaikh Nashir Al-Aql hal. 9-10]
B. Penamaan lain dari ilmu aqidah.1. Menurut Ahlussunnah wal Jamaah.Ilmu aqidah mempunyai beberapa penamaan di kalangan para ulama,yang mana semua penamaan tersebut menunjukkan maksud yang sama. Berikut di antaranya:
a. Al-aqidah. Di antara contoh penggunaannya adalah kitab Imam Ash-Shabuni (wafat tahun 458 H) yang berjudul Aqidah As-Salaf Ash-hab al-Hadits, yang di dalamnya beliau menjelaskan masalah-masalah yang dibahas dalam ilmu aqidah, sebagaimana yang akan datang pada masalah selanjutnya.
b. Al-I’tiqad. Di antara contohnya adalah kitab Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal jamaah karya Imam Al-Lalaka`i (wafat tahun 449 H).
c. At-tauhid.  Tauhid adalah masalah yang terbesar dalam aqidah, sehingga menamakan aqidah dengan tauhid adalah bentuk menamakan sesuatu dengan bagiannya yang terbesar.
Contohnya adalah Kitab At-Tauhid yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari (wafat: 256H), Kitab A-Tauhid wa Ma’rifah Asma`illah karya Imam Ibnu Mandah (wafat: 395 H), Kitab At-Tauhid karya Ibnu Khuzaimah dan selainnya.
d. As-sunnah. As-sunnah adalah semua perkara yang Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- dan para sahabatnya berada di atasnya, baik berupa ucapan, amalan dan keyakinan.
Di antara para ulama yang menulis kitab dengan nama As-Sunnah adalah: Imam Ahmad (wafat: 241 H), Al-Atsram (wafat: 273 H), Ibnu Abi Ashim (wafat: 287 H), Al-Khallal (wafat: 311 H) dan selain mereka -rahimahumullah-
e. Asy-syariah. Syariat adalah semua perkara yang Allah dan Rasul-Nya telah tetapkan sebagai agama, dan perkara yang terbesar di dalamnya adalah aqidah dan keimanan. Di antara kitab aqidah yang bernama dengan nama ini adalah Kitab Asy-Syariah karya Imam Al-Ajurri (wafat: 360 H)
f. Al-iman. Di antara para ulama yang mengarang kitab dalam masalah aqidah yang berjudul Al-Iman adalah Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam dan Imam Ibnu Mandah.
g. Ushul ad-din atau ushul ad-diyanah (pokok-pokok agama). Pokok-pokok agama di sini mencakup semua rukun islam, rukun iman dan semua perkara yang bersifat i’tiqad (keyakinan).
Contohnya adalah kitab Al-Ibanah an Ushul Ad-Diyanah karya Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (wafat: 423 H) dan Ushul Ad-Din karya Al-Baghdadi (wafat: 429 H)
Catatan:Sebagian ulama mengeritik penamaan yang terakhir ini dan menyatakan tidak sepantasnya aqidah dinamakan dengan nama ini. Karena pembagian perkara agama menjadi ushul (pokok) -yaitu semua permasalahan aqidah dan yang mengikutinya- dan furu’ (cabang) -yaitu semua pembahasan fiqhi dan yang mengikutinya- adalah istilah yang baru muncul belakangan, tidak pernah di kenal di kalangan para ulama terdahulu.
Mereka juga mengatakan bahwa pembagian ini tidak jelas batasan-batasannya dan terkadang menyebabkan dampak negatif. Misalnya menggolongkan suatu masalah penting ke dalam masalah furu’ dan sebaliknya atau hal ini akan mengesankan bahwa agama itu mempunyai isi dan kulit, sebagaimana sangkaan para pengikut tarekat sufiah.
2. Penamaan ilmu aqidah menurut selain ahlussunnah.a. Ilmu kalam. Ini adalah penggunaan yang dikenal oleh setiap orang yang terjun dalam sekte ahli kalam, seperti Al-Mu’tazilah, Al-Asy’ariah dan yang sejalan dengan mereka.
Ini adalah penamaan yang salah, karena sumber hukum dalam ilmu kalam adalah akal-akal manusia, dan ilmu kalam ini dibangun di atas filsafat Hindu dan Yunani.
b. Filsafat. Ini adalah penggunaan yang tidak benar, karena landasan ilmu filsafat adalah hanya sebatas dugaan, kebatilan, khayalan akal dan gambaran yang merupakan khurafat.
c. Tashawuf. Penamaan ini dikenal di kalangan sebagian orag-orang sufi dan pakar filsafat.
Ini adalah penggunaan yang diada-adakan, karena ilmu ini dibangun di atas kerancuan-kerancuan dan khurafat-khurafat kaum shufiah dalam aqidah mereka.
d. Metafisika. Ini dikenal di kalangan para penganut filsafat, dalam kitab-kitab orang-orang Barat dan yang sejalan dengan mereka.
[Aqidah Ahlis Sunnah wal Jamaah hal. 10-13, karya Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd]
C. Pembahasan ilmu aqidah.Aqidah -menurut keberadaan dia sebagai salah satu cabang ilmu- adalah sebuah ilmu yang membahas dan mengajarkan semua sisi-sisi tauhid, keimanan dan keislaman. Yang mana ketiga perkara ini mencakup: Keimanan terhadap semua perkara yang ghaib, masalah kenabian, takdir, pengabaran-pengabaran dari wahyu, pokok-pokok hukum yang bersifat pasti, serta semua perkara aqidah yang disepakati oleh para ulama, seperti masalah al-wala` wa al-bara` (loyalitas kepada yang seaqidah dan kebencian kepada yang menyelisihi aqidahnya) dan bagaimana sikap seharusnya kepada para sahabat, pemerintah dan kaum muslimin secara umum.
Termasuk di dalam pembahasannya adalah sikap dan sanggahan kepada orang-orang kafir, para pelaku bid’ah, pengekor hawa nafsu serta bantahan terhadap semua agama, sekte dan mazhab yang batil lagi memecah belah umat. Dan masih banyak lagi pembahasan-pembahasan aqidah yang insya Allah Ta’ala akan datang perinciannya satu per satu.
Demikian penggambaran global mengenai aqidah islamiah, insya Allah pembahasan selanjutnya adalah karakterisitik dan keutamaan aqidah islamiah.
[Jurnal Islami Daar el Salam edisi 01 dengan sedikit perubahan]


Apakah Membaca Al-Asmaul Husna 
Bisa Mendatangkan Jin (Khodam)?
Tanya: Benarkah asmaul husna dapat mendatangkan jin (khodam), lalu bagaimana pendapat yang jelas?
Jawab: Alhamdulillah rabbil ‘aalamiin, washshalaatu wassalaamu ‘alaa rasuulillah, wa ‘alaa aalihii wa shahbihi ajma’iin.
Seorang muslim tidak diperkenankan berbicara, mengamalkan atau meyakini sesuatu yang berkaitan dengan nama-nama Allah kecuali dengan dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah yang shahihah.
Dan tidak ada dalil yang shahih yang menunjukkan bahwa Al-Asmaaul Husnaa digunakan untuk mendatangkan jin atau khodam. Bahkan ini termasuk penyelewengan dalam menggunakan nama-nama Allah ta’aalaa. Allah ta’aalaa berfirman:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ [الأعراف/180]
Artinya: “Hanya milik Allah asma-ul husna, maka mohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. 7:180)
Adapun keberhasilan sebagian orang dalam mendatangkan jin dengan membaca Al-Asmaaul Husnaa maka ini tidak bisa dijadikan dalil, karena kedatangan jin tersebut bukan karena Al-Asmaul Husnanya, akan tetapi ada faktor lain, seperti membaca Al-Asmaaul Husnaa dicampur dengan nama jin, atau mantra-mantra yang mengandung kesyirikan.
Berkata Syeikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah:
وقد يغلو بعض الناس في هذا الباب فيزعمون أن لكل اسم من أسماء الله الحسنى خواص وأسرارا تتعلق به، وأن لكل اسم خادما روحانيا يخدم من يواظب على الذكر به….وهذا فتح لباب الخرافة على مصراعيه، بل إن كثيرا من السحرة والمشعوذين دخلوا من هذا الباب كيدا للناس وتحصيلا للمطامع ونشرا للشر
“Dan sebagian manusia berlebih-lebihan dalam bab ini (al-asmaul husna), mereka menyangka bahwa setiap nama dari nama-nama Allah yang baik memiliki kekhususan dan rahasia-rahasia yang berkaitan dengannya, dan bahwasanya setiap nama tersebut memiliki khadam yang membantu orang yang senantiasa membacanya…, dan keyakinan seperti ini membuka lebar pintu khurafat, bahkan sesungguhnya kebanyakan tukang sihir dan dukun-dukun menggunakan cara ini untuk menipu manusia, menghasilkan apa yang mereka inginkan, dan menyebarkan kejahatan” (Fiqh Al-Asmaaul Husnaa hal:68)
Dan seorang muslim hendaknya meninggalkan perbuatan meminta bantuan jin, meskipun untuk tujuan yang diperbolehkan, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah melakukannya, demikian pula para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum. Dan juga dikhawatirkan terjerumus dalam hal yang terlarang seperti kesyirikan, karena sangat lihainya jin menipu dan menyesatkan manusia dari jalan Allah. Wallahu a’lam.
[Sumber: http://tanyajawabagamaislam.blogspot.com/2011/10/apakah-membaca-al-asmaul-husna-bisa.html]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar