Kamis, 04 April 2013

PUASA


Beberapa Hukum Seputar Puasa Ramadhan
Berikut beberapa hukum seputar puasa ramadhan secara ringkas:
a.    Tidak syah puasa wajib seperti puasa ramadhan atau qadha` ramadhan atau puasa nadzar kecuali jika dia meniatkannya sejak dari malam hari. Hanya saja niat itu tempatnya di hati sehingga tidak perlu melafazhkannya.
Dalil dari hal ini adalah hadits Hafshah dan Ibnu Umar radhiallahu anhuma:

مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

“Barangsiapa yang tidak memalamkan niatnya sebelum terbitnya fajar maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Abu Daud no. 2454, At-Tirmizi no. 730, An-Nasai (4/196), dan Ibnu Majah no. 1700)
b.    Wanita haid dan nifas diharamkan berpuasa secara mutlak, akan tetapi dia wajib menggantinya jika puasa yang dia tinggalkan itu adalah puasa wajib.
Dalilnya adalah hadits Aisyah radhiallahu anha dia berkata:

كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ

“Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat.” (HR. Muslim no. 508)
Adapun wanita yang mengalami istihadhah, maka dia tetap wajib berpuasa. Hal itu karena istihadhah berbeda dengan haid dari sisi sifat dan hukum.
c.    Jika ada orang yang berniat puasa dalam keadaan junub dan dia tidak mandi junub kecuali setelah subuh, maka puasanya syah. Sebagaimana jika wanita haid suci sesaat sebelum subuh lalu dia berniat puasa dan dia mandi setelah masuknya subuh, maka dia syah berpuasa.
Dalilnya adalah ucapan Aisyah radhiallahu anha:

إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلَامٍ فِي رَمَضَانَ ثُمَّ يَصُومُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendapati waktu Subuh dalam keadaan junud karena jima’, bukan karena mimpi di bulan Ramadhan, kemudian beliau tetapi berpuasa.” (HR. Al-Bukhari no. 1796 dan Muslim no. 1867)
d.    Lelaki dan wanita tua yang sudah berat untuk berpuasa, maka mereka tidak wajib untuk berpuasa, demikian halnya orang sakit yang penyakitnya tidak mempunyai kemungkinan untuk sembuh. Mereka boleh berbuka akan tetapi mereka wajib menggantinya dengan fidyah, yaitu memberi makan 1 orang miskin untuk setiap hari dia tidak berpuasa.
Ini adalah pendapat sebagian ulama, dan mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala:

وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)
Ibnu Abbas radhiallahu anhu menafsirkan ayat di atas, “Ayat ini turun memberikan keringanan kepada lelaki dan wanita tua yang tidak kuat berpuasa, maka keduanya memberikan makan setiap hari kepada 1 orang miskin.”
Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu anhu bahwa beliau lemah untuk berpuasa setahun sebelum wafat, maka beliau berbuka dan memerintahkan keluarganya untuk memberi makan 1 orang miskin setiap hari.
e.    Adapun orang yang sakit, maka:
•    Jika sakitnya ringan atau masih ada kemungkinan sembuh, maka dia boleh berbuka tapi dia wajib menggantinya di hari yang lain. Allah Ta’ala berfirman:

ومن كان مريضا أو على سفر فعُدة من أيام اُخر

“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)
•    Jika sakitnya tidak ada kemungkinan sembuh maka dia sejak awal sudah wajib membayar fidyah, berdasarkan pendapat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma di atas.
•    Jika penyakitnya datang tiba-tiba dan berlanjut hingga dia meninggal maka tidak ada kewajiban apa-apa pada keluarganya, tidan fidyah dan tidak pula qadha.
f.    Disunnahkan bagi orang yang ingin berpuasa untuk makan sahur.
Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً

“Bersahurlah kalian, karena didalam sahur ada barakah.” (HR. Al-Bukhari no. 1789 dan Muslim no. 1835)
g.    Disunnahkan untuk mengakhirkan makan sahur mendekati azan subuh.
Dari Anas bin Malik dari Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhuma dia berkata:

تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً

“Kami pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian Beliau pergi untuk melakanakan shalat. Aku bertanya: “Berapa antara adzan (Shubuh) dan sahur?”. Dia menjawab: “Sebanyak ukuran bacaan lima puluh ayat.” (HR. Al-Bukhari no. 1787)
h.    Disunnahkan bersahur dengan memakan korma atau meminum air putih.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

نِعْمَ سَحُورُ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ

“Sebaik-baik (makanan) sahur bagi seorang mukmin adalah kurma.” (HR. Abu Daud no. 1998)

Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
السَّحُورُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلَا تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ

“Makan sahur itu berkah, maka janganlah kalian tinggalkan meskipun salah seorang dari kalian hanya minum seteguk air, karena sesungguhnya Allah ‘azza wajalla dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang makan sahur.” (HR. Ahmad no. 10664)
i.    Sebaliknya dengan berbuka puasa, maka dia dianjurkan untuk disegerakan setelah terbenamnya matahari.
Dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

“Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Al-Bukhari no. 1821 dan Muslim no. 1838)
j.    Disunnahkan berbuka dengan memakan ruthob sebelum melaksanakan shalat maghrib, kalau tidak ada maka dengan korma, kalau tidak ada maka dengan meminum air.
Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berbuka dengan beberapa ruthab (kurma yang belum masak) sebelum melakukan shalat, jika tidak dengan air maka dengan beberapa kurma, dan apabila tidak ada kurma maka beliau meneguk air beberapa kali.”(HR. Abu Daud no. 2009 dan At-Tirmizi no. 632)

Keutamaan Puasa Ramadhan
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa Allah Ta’ala berfirman dalam hadits Qudsi:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ, فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ. الصِّيَامُ جُنَّةٌ

“Semua amalan anak Adam adalah untuknya kecuali puasa, karena dia itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Puasa adalah perisai.” (HR. Al-Bukhari no. 1904 dan Muslim no. 1151)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang berpuasa ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala maka akan diampuni seluruh dosanya yang telah berlalu.” (HR. Al-Bukhari no. 1900 dan Muslim no. 760)
Penjelasan ringkas:
Puasa merupakan amalan yang paling jauh dari riya`, karena tidak ada yang mengetahui seseorang itu berpuasa kecuali Allah kemudian dirinya sendiri. Karenanya Allah Ta’ala menjadikan puasa ini sebagai amalan yang khusus untuk-Nya karena tingginya nilai keikhlasan yang ada di dalamnya. Dan Allah sendiri yang akan membalas pahala puasa tersebut dengan balasan yang tidak terhingga sesuai dengan kehendak-Nya. Dan di antara pahala tersebut adalah Allah akan melindungi orang yang rajin berpuasa dari api nereka sebagaimana puasa itu telah melindungi orang tersebut dari kemasiatan di dunia. Ditambah lagi Allah akan mengampuni semua dosa orang yang berpuasa, dengan syarat dia melakukannya karena keimanan dan hanya mengharapkan pahala dari Allah Ta’ala.

بسم الله الرحمن الرحيم
Tuntunan Ringkas Seputar
Hukum-Hukum Puasa Ramadhan

Muqaddimah
Definisi Puasa.
Secara bahasa bermakna menahan.
Sementara menurut syariat, Imam Al-Qurthubi -rahimahullah- berkata, “Dia (puasa) adalah perbuatan menahan diri dari semua pembatal puasa disertai dengan niat (ibadah), sejak dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.” (Tafsir Al-Qurthubi pada ayat 183 dari surah Al-Baqarah)
Imam An-Nawawi berkata -memberikan definisi puasa- dalam Al-Majmu’ (6/247), “Penahanan yang bersifat khusus, dari sesuatu yang tertentu, yang dikerjakan pada waktu tertentu, dan dilakukan oleh orang tertentu.”
Ucapan beliau, “dari sesuatu yang tertentu,” yakni seorang yang berpuasa tidaklah menahan diri dari segala sesuatu akan tetapi terbatas pada apa yang bisa membatalkan puasanya. “Pada waktu tertentu,” yakni hanya pada siang hari dan pada hari-hari yang disyariatkan berpuasa di situ. “Oleh orang tertentu,” yakni hanya bagi mereka yang telah mumayyiz dan sanggup untuk berpuasa.
Pembagian Puasa.
Puasa dalam syariat Islam terbagi menjadi dua:
1. Puasa sunnah.
2. Puasa wajib, dan dia ada tiga jenis:
· Yang wajib karena waktu. Ini adalah puasa ramadhan, dan puasa ini yang akan kita bahas hukum-hukumnya.
· Yang wajib karena adanya sebab, dan dia adalah puasa dalam membayar kaffarat.
· Yang wajib karena seseorang mewajibkannya atas dirinya, yaitu puasa nazar.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata dalam Kitab Ash-Shiyam dari Syarah Al-Umdah (1/26), “Puasa itu ada lima jenis: Puasa yang wajib dengan syara’ yaitu puasa bulan ramadhan baik yang ada`an maupun qadha`, puasa wajib dalam kaffarah, yang wajib karena nazar, dan puasa sunnah.” Lihat juga Shahih Fiqhus Sunnah (2/88)
Hukum Puasa Ramadhan.
Puasa ramadhan hukumnya adalah wajib atas setiap muslim yang balig, berakal, sehat dan muqim (bukan musafir). Dia merupakan salah satu dari rukun Islam, yang kewajibannya ditunjukkan oleh Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ umat ini.
Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang bisa menjalankannya (tapi mereka tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Baqarah: 183-185)
Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Islam dibangun di ataslima perkara: Syahadat ‘laa ilaha illallah’ dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji, dan berpuasa ramadhan.” (HR. Al-Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16 dari Ibnu Umar)
Umat Islam telah bersepakat bahwa puasa ramadhan adalah wajib. Barang siapa yang mengingkari kewajibannya maka dia kafir keluar dari Islam, dan barangsiapa yang meninggalkannya dengan sengaja tapi tetap meyakini wajibnya maka dia tidak kafir, akan tetapi dia telah bergelimang dengan dosa besar, wal’iyadzu billah.
Faidah:
Al-Mardawi dalam Al-Inshaf (3/269) menukil kesepakatan ulama bahwa puasa ramadhan diwajibkan pada tahun kedua hijriah.
Keutamaan Puasa Ramadhan
Di antara dalil-dalil keutamaannya adalah:
1. Dari Abu Hurairah secara marfu’ dalam hadits Qudsi:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ, فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ. الصِّيَامُ جُنَّةٌ
“Semua amalan anak Adam adalah untuknya kecuali puasa, karena dia itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Puasa adalah perisai.” (HR. Al-Bukhari no. 1904 dan Muslim no. 1151)
2. Juga dari Abu Hurairah, Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala maka akan diampuni seluruh dosanya yang telah berlalu.” (HR. Al-Bukhari no. 1900 dan Muslim no. 760)
3. Dari Abu Said Al-Khudri secara marfu’:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِي سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ بَاعَدَ اللهُ بِهَذاَ الْيَوْمِ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا
“Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah kecuali karenanya Allah akan menjauhkan wajahnya dari neraka sejauh 70 tahun perjalanan.” (HR. Al-Bukhari no. 2840 dan Muslim no. 1153)
4. Dari Abu Hurairah secara marfu’:
“Jika bulan ramadhan telah tiba, pintu-pintu langit -dalam sebagian riwayat: Pintu-pintu surga­dan pintu-pintu jahannam ditutup dan setan-setan dibelenggu.” (HR. Al-Bukhari no. 1899 dan Muslim no. 1079)
5. Masih dari Abu Hurairah secara marfu’:
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسَةُ, وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ, وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ, مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ
“Shalat yang lima waktu, shalat jumat satu ke shalat jumat selanjutnya, dari satu ramadhan ke ramadhan berikutnya, semuanya adalah penghapus dosa-dosa yang ada di antara keduanya, jika dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim no.233)
[Shahih Fiqhus Sunnah hal. 87-90]

Hukum-Hukum Seputar Puasa Muharram
Alhamdulillah pada saat ini kita telah berada di bulan Muharram, salah satu bulan dari empat bulan yang memiliki kehormatan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang dikhabarkan oleh Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dalam sabda beliau: “Sesungguhnya zaman telah berputar kembali seperti bentuknya ketika Allah menciptakan langit-langit dan bumi, satu tahun itu 12 bulan dan di antaranya ada 4 bulan haram (yang memiliki kehormatan), 3 bulan (di antaranya) berturut-turut : Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan bulan Rajabnya Mudhor yang berada antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan bulan ini juga merupakan salah satu dari beberapa bulan yang Allah Ta’ala telah menurunkan syariat puasa khusus di dalamnya yaitu puasa yang kita kenal bersama dengan nama puasa asyura. Karena itu pada pembahasan kali ini, kami akan mengangkat beberapa hukum seputar puasa Asyuro, semoga kaum muslimin sekalian bisa mendapatkan ilmu dan pelajaran tentangnya sebelum terjun melaksanakannya.
1. Dalil-Dalil Tentang Disyari’atkannya. 
a.  Hadits Aisyah radhiallahu ‘anha beliau berkata, “Dulu pada hari Asyuro, orang-orang Quraisy berpuasa padanya di masa jahiliyah dan adalah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam dulu juga berpuasa padanya. Tatkala beliau berhijrah ke Madinah, beliau berpuasa padanya dan memerintahkan (manusia) untuk berpuasa padanya. Dan tatkala (puasa) ramadhan diwajibkan beliaupun meninggalkan (puasa) hari Asyuro. Maka (semenjak itu) siapa saja yang ingin (berpuasa padanya) maka dia berpuasa dan siapa saja yang ingin (untuk tidak berpuasa) maka dia meninggalkannya”.(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
b. Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma beliau berkata,“Nabi datang (hijrah) ke Madinah dan beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyuro`, maka beliau bertanya: “Apa ini?”, mereka (orang-orang Yahudi) menjawab: “Ini adalah hari baik, ini adalah hari Allah menyelamatkan Bani Isra`il dari musuh mereka maka Musa berpuasa padanya”, beliau bersabda : “Kalau begitu saya lebih berhak dengan Musa daripada kalian” maka beliaupun berpuasa dan memerintahkan (manusia) untuk berpuasa”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
c. Hadits Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata,“Adalah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk berpuasa pada hari ‘Asyuro`, memotivasi dan mengambil perjanjian dari kami di sisi beliau, tatkala telah diwajibkan (puasa) Ramadhan, beliau tidak memerintahkan kami, tidakpula melarang kami dan tidak mengambil perjanjian dari kami di sisi beliau”. (HR. Muslim)
Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa puasa asyura awal kali disyariatkan ketika beliau tiba pertama kali di kota Madinah. Adapun sebab asal pensyari’atannya yaitu karena pada hari itu Allah Ta’ala menyelamatkan Nabi Musa ‘alaihissalam dari musuhnya sebagaimana dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas di atas, jadi bukan karena mengikuti agamanya orang-orang Yahudi. Lihat Nailul Author (4/288)
2. Hukumnya.
Nampak jelas dari hadits-hadits di atas dan juga dari hadits-hadits yang lain yang semakna dengannya bahwa dulunya hukum puasa hari ‘Asyuro` adalah wajib karena Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkannya sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas di atas. Akan tetapi setelah turunnya kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan maka hukum wajib ini dimansukh (terhapus) menjadi sunnah sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits Aisyah radhiallahu ‘anha.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarh Muslim (8/6), “Para ulama telah bersepakat bahwa puasa pada hari ‘Asyuro` hukumnya sekarang (yaitu ketika telah diwajibkannya puasa Ramadhan) adalah sunnah dan bukan wajib”. Dan ijma’ akan hal ini juga telah dinukil oleh Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah sebagaimana dalam Fathul Bary (2/246)
3. Keutamaannya.Ada beberapa hadits yang menunjukkan keutamaan berpuasa pada hari ‘Asyuro`, berikut di antaranya :
a. Hadits Abu Qotadah Al-Harits bin Rib’iy radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang puasa hari ‘Arafah, maka beliau menjawab : “Menghapuskan (dosa-dosa) setahun yang lalu dan (setahun) yang akan datang”, dan beliau ditanya tentang puasa hari ‘Asyuro` maka beliau menjawab : “Menghapuskan (dosa-dosa) setahun yang lalu”. (HR. Muslim)
b. Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma beliau berkata,“Saya tidak pernah melihat Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam sangat bersungguh-sungguh berpuasa pada suatu hari yang dia lebih utamakan daripada selainnya kecuali pada hari ini hari ‘Asyuro` dan bulan ini yaitu bulan Ramadhan“. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
c. Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu secara marfu’, “Puasa yang paling afdhol setelah Ramadhan adalah (puasa) pada bulan Allah Muharram dan sholat yang paling afdhol setelah sholat wajib adalah sholat lail”. (HR. Muslim)
4. Orang yang telah makan sedang dia lupa atau tidak tahu bahwa hari itu adalah hari asyuro, apa yang dia lakukan ?Masalah ini hukumnya sebagaimana yang dikatakan oleh Imam An-Nawawi dalam Syarh Muslim (8/19), “Bab : Barangsiapa yang sudah makan pada hari ‘Asyuro` maka hendaknya dia menahan (berpuasa) pada sisa harinya”.
Ada dua dalil yang menunjukkan akan hal ini :
a. Hadits Salamah ibnul Akwa’ radhiallahu ‘anhu dia berkata, “Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan seorang lelaki dari Bani Aslam agar mengumumkan kepada manusia bahwa barangsiapa yang yang sudah makan maka hendaknya dia berpuasa pada sisa harinya dan barangsiapa yang belum makan maka hendaknya dia berpuasa, karena hari ini adalah hari ‘Asyuro`”. (HR.Al- Bukhari dan Muslim)
b. Hadits Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiallahu ‘anha dia berkata, “Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam mengutus (utusan) kepada desa-desa Anshor pada subuh hari ‘Asyuro` (untuk menyerukan) : “Barangsiapa yang masuk di waktu subuh dalam keadaan berbuka (telah makan) maka hendaknya dia sempurnakan sisa harinya (dengan berpuasa) dan barangsiapa yang masuk di waktu subuh dalam keadaan berpuasa maka hendaknya dia berpuasa”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
5. Kapankah Hari ‘Asyuro` Itu?
Terdapat perselisihan pendapat di kalangan ulama dalam masalah penentuannya, dan pendapat yang paling kuat adalah bahwa hari asyura itu jatuh pada tanggal 10 Muharram. Ini adalah pendapat Said ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, Imam Malik, Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan ini merupakan pendapat jamahir (mayoritas) ulama terdahulu dan belakangan.
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dia berkata, “Tatkala Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyuro` dan beliau memerintahkan (manusia) untuk berpuasa, mereka berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani”, maka Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda : “Jika tahun depan (saya masih hidup) insya Allah, maka kita akan berpuasa pada hari kesembilan”. (Ibnu ‘Abbas) berkata : Maka tahun depan belum datang sampai Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam wafat”. (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain, “Jika saya masih hidup sampai tahun depan maka (Demi Allah) sungguh betul-betul saya akan berpuasa pada hari kesembilan”.
Berkata Imam An-Nawawy rahimahullah dalam Syarh Muslim (8/18), “Maka ini jelas menunjukkan bahwa dulu beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam berpuasa pada tanggal 10 (Muharram) bukan tanggal 9”. Dan ini juga merupakan pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah.
Hal ini lebih dipertegas oleh perkataan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam memerintahkan untuk berpuasa pada hari ‘Asyuro`, hari kesepuluh”. (HR. At-Tirmizi dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmizi (1/399 no. 755))
Faedah:
Disunnahkan pula untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharram karena Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam berpuasa pada tanggal 10 dan berniat untuk berpuasa pada tanggal 9 tahun depannya sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas di atas, ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’iy, Ahmad, Ishaq dan lain-lainnya. Hal ini juga berdasarkan ucapan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Selisihilah orang-orang Yahudi, berpuasalah pada hari ke 9 dan ke 10”.(Riwayat Abdurrozzaq (4/287) dan Al-Baihaqi (4/287))
Wallahu a’lam bish showab.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar