Dalil-dalil Tentang
Wajibnya Sholat Berjamaah 5 Waktu di Masjid (bagi pria)
Shalat lima waktu bersama jama’ah di
masjid-masjid adalah sebesar-besar ibadah yang mulia. Dibawah ini
disebutkan berbagai dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah tentang wajibnya shalat
jama’ah tersebut.
1. Perintah Allah
Subhanahu Wata’ala untuk sholat berjamaah dalam Al Qur’an
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman : “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’. “ (al-Baqarah: 43)
Para ulama terdahulu seperti Imam Abu Bakar
al-Kisani, Qadli al-Baidlawi, Hafidz Ibnul Jauzi, telah sepakat bahwa ayat
mengenai perintah untuk ruku’ bersama-sama dengan orang-orang yang ruku’
menunjukkan adanya perintah (yang bermakna wajib) untuk menegakkan shalat
berjama’ah.
2. Hadits
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bahwa tidak sah shalat bagi yang tidak
berjama’ah secara sengaja
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam secara
tegas mengancam orang yang mendengarkan adzan tapi tidak mendatanginya dengan
sengaja tanpa udzur. Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam menyatakan bahwa tidak
ada shalat baginya. Kalimat ‘Laa shalata’ (tidak ada sholat) sering
dipahami oleh ahlul fiqh dengan “tidak sah”. Walaupun dalam hadits ini ada
perbedaan diantara ulama, apakah “tidak sah” atau “tidak sempurna”. Namun
tentunya hadits ini cukup sebagai dalil yang qath’i tentang wajibnya shalat
jama’ah.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra, bahwasanya
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bersabda:
“Barangsiapa yang mendengar panggilan adzan,
tetapi tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur
(halangan yang dibolehkan syariat).”
Keshahihan hadits ini antara lain :
1.
Diriwayatkan
oleh Ibnu Majah dalam Abwabul Masajid wal jamaah, bab, Taghlidh fi
Takhalluf ‘Anil Jama’ah, No. 777; Ibnul Mundzir, Lihat alAushath fis sunani wal
ijma’ wal Ikhtilaf, kitabul Imamah, bab Dzikru Takhawwufun Nifaq ‘Ala Taariki
Syuhudul Isya’ was Subhi Jama’ah, no. 1898;Ibnu Hibban, lihat al-Ihsan fi
Taqrib Shahih ibnu Hibban bab Fardhul Jama’ah bab Dzikrul Khabar ad-Daall Anna
Hadzal Amru Hatmun La Nadbun, no. 2064 dan Hakim dalam Mustadrak, Kitabus
Shalah 1/245)
2.
Hadits
ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’. Beliau berkata: “Hadits
ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Thabrani dalam Mu’jamul Kabir.
Diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas Oleh Abu Musa al-Madini dalam al-Lathaifu Min
‘Ulumil Ma’arif, Hasan bin Sufyan dalam al-Arba’in, Daruquthni, Hakim dan
Baihaqi dari banyak jalan, dari Hasyim dari ‘Adi. Hakim berkata: “Hadits ini shahih
sesuai dengan syarat dua Syaikh (Bukhari dan Muslim)”. Pendapat ini disepakati
oleh Imam adz-Dzahabi. Dan hadits ini memang seperti apa yang dikatakan oleh
keduanya”. (Irwa’ul Ghalil, 2/337).
3.
Diriwayatkan
pula ucapan-ucapan sejumlah para shahabat yang menyatakan demikian. Imam
Tirmidzi berkata: “Sungguh telah diriwayatkan bukan hanya dari seorang shahabat
Nabi saja bahwa mereka berkata: “Barangsiapa yang mendengar panggilan adzan,
kemudian tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya”. (Jami’ Tirmidzi
dengan Tuhfatul Ahwadzi, 1/188). Sebagai contoh kita sebutkan beberapa
ucapan mereka. Diantaranya apa yang diucapkan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi
Thalib: ”Tidak ada shalat bagi tetangga masjid, kecuali di masjid”.
Ditanyakan kepada beliau: “Wahai Amirul Mukminin, siapa tetangga masjid?”
Beliau menjawab: “Tetangga masjid adalah orang yang mendengarkan adzan”. (HR.
Abdurrazzak dalam al-Mushannaf, kitabus shalah, bab Man Sami’a Nida, no. 1915,
1/497-498; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf, Kitabus shalawat, bab Man Qaala
Idza Sami’al Munadi falyajib 1/ 345; Ibnul mundzir dalam al-Aushath, kitabul
Imamah, bab Dzikru Takhawwufu an-Nifaq no. 1907, 4/137; lihat al-Muhalla,
4/274-275)
4.
Ibnu
Mas’ud ra berkata: “Barangsiapa yang mendengarkan adzan, kemudian tidak
mendatanginya tanpa udzur, maka tidak ada shalat baginya”. (Riwayat Ibnu Abi
Syaibah dalam al-Mushannaf Kitabus shalawat, bab Man Qaala Idza Sami’al Munadi
falyajib 1/345; Ibnul mundzir dalam al-Aushath, kitabul Imamah, bab Dzikru
Takhawwufu an-Nifaq no. 1902, 4/136; lihat al-Muhalla, 4/275)
5.
Ibnu
Abdullah bin Abbas ra juga berkata: “Barangsiapa yang mendengarkan
adzan, kemudian tidak mendatanginya tanpa udzur, maka tidak ada shalat
baginya”. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, Kitabus shalawat, bab
Man Qaala Idza Sami’al Munadi falyajib 1/345; Ibnul mundzir dalam al-Aushath,
kitabul Imamah, bab Dzikru Takhawwufu an-Nifaq no. 1899, 4/136; lihat
al-Muhalla, 4/275; Abdurrazzak dalam Mushanaf, kitabus shalah, bab Man sami’a
Nida’ no. 1914, 1/497; al-Baghawi dalam Syarkhus Sunnah, no. 795 juz 3 /348,
dikatakan oleh pentahqiq kitab tersebut: “Sanad hadits ini shahih)
6.
Abu
Musa al-’Asyari ra berkata: “Barangsiapa yang mendengarkan adzan,
kemudian tidak mendatanginya tanpa udzur, maka tidak ada shalat baginya”.
(Riwayat Ibnul Mundzir dalam al-Ausath kitabul Imamah, bab Dzikru Takhawwufu
an-Nifaq, no. 1900, 4/136; lihat Al-Muhalla, Ibnu Hazm 4/274).
3. Orang buta
saja diwajibkan shalat berjama’ah.
Diantara yang menunjukkan wajibnya shalat
berjama’ah 5 waktu adalah tidak adanya rukhshah (keringanan) bagi orang yang
buta. Maka bagaimana dengan orang-orang yang masih dapat melihat dengan
normal?
Dikisahkan bahwa Abdullah bin Umi Maktum ra
pernah meminta keringanan untuk tidak shalat berjama’ah di masjid dan
mengemukakan berbagai macam udzurnya, diantaranya :
1.
Buta
matanya dan tidak adanya penuntunnya
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abu
Hurairah ra bahwa seorang yang buta datang menemui Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasalaam seraya berkata:
“Wahai Rasulullah, sungguh aku tidak memiliki
penuntun yang bisa menuntunku ke masjid”. Orang itu meminta keringanan kepada
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam. Maka Rasulullah pun mengizinkannya.
Namun kemudian ketika orang itu berpaling, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wasalaam memanggilnya seraya berkata: “Apakah engkau mendengar panggilan untuk
shalat?” Dia menjawab: “Ya”. Maka beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bersabda:
“Kalau begitu penuhilah!” (HR.
Shahih Muslim dalam kitabul Masaajid).
Dalam hadits di atas sangat jelas disebutkan
bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam tidak memberikan udzur bagi
orang yang buta tersebut, jika ia masih mendengar panggilan adzan.
2. Jauh rumahnya
Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud dari Abdullah bin Umi Maktum ra bahwa dia meminta keringanan kepada Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam dengan berkata:
“Wahai Rasulullah, aku adalah orang yang buta
dan jauh rumahnya. Sedangkan aku memiliki penuntun yang tidak selalu bersamaku.
Apakah aku shalat di rumahku? Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam
bertanya:”Apakah engkau mendengar adzan?” Ia menjawab: “Ya”. Maka beliau
Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bersabda: “Kalau begitu aku tidak mendapatkan
rukhshah (keringanan) untukmu”. (HR. Abu Dawud dalam Kitabus Shalah, bab at-Tasydid fii tarki
ash-shalah, no. 548)
Dalam hadits ke-2 ini terdapat alasan yang
ketiga di samping alasan buta dan tidak memiliki penuntun yaitu jarak rumahnya
ke masjid jauh.
3. Diantara rumahnya dengan masjid melewati
kebun-kebun kurma dan semak belukar.
Dalam riwayat lain bahkan disebutkan diantara
rumah Abdullah ibnu Umi Maktum dan masjid terdapat pepohonan kurma dan semak
belukar. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan dalam riwayat Imam Ahmad dari
Abdullah bin umi Maktum, bahwa ia berkata kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wasalaam : “Wahai
Rasulullah, antara rumahku dengan masjid banyak pohon kurma dan semak belukar.
Dan tidak ada orang yang dapat menuntunku. Apakah boleh bagiku untuk shalat di
rumahku?” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bertanya: “Apakah engkau
mendengar iqamah?” Ia menjawab: “Ya”. Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wasalaam bersabda: “Kalau begitu datangilah panggilan tersebut!”. (HR. Ahmad)
4. Masih banyaknya binatang buas dan berbisa
di sekitar kota Madinah
Dalam hadits lain masih ada udzur lainnya pada
Abdullah bin Umi Maktum, namun tetap tidak menjadikannya mendapatkan keringanan
yaitu diantara masjid dengan rumahnya masih banyak binatang buas atau binatang
berbahaya sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari Abdullah bin umi
Maktum, bahwa ia mengatakan: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya di kota Madinah ini masih banyak
binatang-binatang buas dan binatang yang berbahaya. Maka Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wasalaam bertanya: “Apakah engkau mendengar hayya ‘ala shalah, hayya
‘alal falah? Kalau ya, maka segeralah engkau penuhi panggilan itu!” (HR. Abu Dawud bab Tasydid fi Tarqil Jama’ah,
no. 548; Hakim dalam Mustadrak kitab ash-shalah, dishahihkan oleh Dzahabi).
5. Dalam keadaan tua dan sudah renta
Udzur lainnya bagi Abdullah bin Umi Maktum
adalah umur beliau. Di samping beliau buta, ia adalah seorang yang sudah tua
renta. Sebagaimana diriwayatkan oleh Thabrani dari Abu Umamah. Ia berkata: Ibnu
Umi Maktum datang -ia adalah seorang buta yang turun tentangnya ayat ‘Abasa wa
tawalla an ja’ahul a’ma-, ia adalah seorang dari Quraisy datang kepada
Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam dan berkata:
“Wahai Rasulullah, ayah dan ibuku sebagai
jaminan untukmu. Sungguh aku –sebagaimana yang engkau lihat—adalah orang yang
telah tua umurnya, rapuh tulangku (renta), hilang pandanganku (buta), dan aku
memiliki penuntun yang tidak cocok denganku, apakah engkau memiliki rukhsah
untukku agar aku shalat di rumah?” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam
bertanya: “Apakah engkau mendengar suara muadzin di rumah yang kamu tinggal di
dalamnya?” Ia menjawab: “Ya”. Maka nabi pun bersabda: “Aku tidak memiliki
keringanan untukmu. Sungguh kalau orang yang tidak hadir shalat jama’ah ke
masjid itu mengetahui apa pahalanya orang yang berjalan menuju shalat jama’ah,
niscaya ia akan mendatanginya walaupun merangkak dengan kedua tangan dan
kakinya”. (Dinukil
dari at-Targhib wa Tarhib oleh al-Hafidh al-Mundziri. Dihasankan oleh Syaikh
Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Shahih Targhib wa Tarhib, 1/247)
Dari hadits-hadits di atas, kita melihat
ketegasan hukum wajibnya shalat berjama’ah. Kita melihat udzur-udzur yang ada
pada Abdullah bin Umi Maktum sangat banyak, seperti buta, tua umurnya (renta),
tidak ada penuntun, jauhnya rumah dari masjid, banyaknya pepohonan dan semak
belukar, dan banyaknya binatang buas/berbisa. Namun meskipun demikian,
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam tetap tidak memberikan keringanan
untuknya meninggalkan shalat jama’ah.
Tidak mungkin bagi seorang rasul Shalallahu
‘Alaihi Wasalaam yang mulia dan sangat sayang kepada umatnya membiarkan seorang
yang memiliki udzur-udzur di atas tanpa mendapatkan keringanan. Kecuali kalau
perkara itu adalah suatu faridlah dan kewajiban yang telah Allah Subhanahu Wa
Ta’ala tetapkan.
Maka dengan alasan apa lagikah kaum muslimin
meninggalkan shalat jama’ah ke masjid, padahal mereka dalam keadaan tidak buta,
kuat badannya, muda umurnya, aman jalannya dan dekat rumahnya dengan masjid?
4. Perintah untuk
shalat berjama’ah dalam keadaan khauf (genting/ berbahaya)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan kepada
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam dan para shahabatnya untuk shalat
berjama’ah walaupun dalam keadaan khauf (genting), yaitu dalam situasi perang.
Hal ini menunjukkan kalau shalat jama’ah merupakan perkara yang penting dan
wajib.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka
(sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat untuk mereka, maka hendaklah
segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata,
kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan
satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi
musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu
shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang
senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan
harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa
atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan
karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu.
Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang
kafir itu.” (an-Nisaa’: 102)
Ibnul Mundzir menjelaskan mengenai ayat ini :
“Ketika Allah perintahkan untuk shalat berjama’ah dalam keadaan khauf (genting)
, apalagi dalam keadaan aman tentunya lebih diwajibkan”. (Al-Ausath fie
Sunani wal Ijtima’i wal Ikhtilafi, 4/135). Dengan kata lain, kalau saja
shalat berjama’ah tidak diwajibkan, tentu dalam keadaan perang dapat dijadikan
udzur (alasan berhalangan) yang sangat masuk akal untuk
meninggalkan shalat jama’ah. Namun ternyata dalam keadaan perang saja
diwajibkan untuk sholat berjamaah.
5. Perintah Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam untuk mendirikan shalat berjama’ah
Diriwayatkan dari Malik Ibnul Huwairits ra ,
dia berkata: ”Aku mendatangi Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bersama
beberapa orang dari kaumku. Kami tinggal di sisi beliau 20 hari. Sungguh beliau
adalah seorang yang sangat lembut dan penyayang. Ketika beliau melihat bahwa
kami sudah rindu dengan keluarga-keluarga kami, beliau berkata: “Kembalilah kalian, tinggallah di tengah mereka,
ajarilah mereka dan shalatlah. Jika telah datang waktu shalat, adzanlah salah
seorang dari kalian dan hendaklah orang yang paling tua diantara kalian
mengimami kalian! (HR. Bukhari dalam
Kitab al-Adzan).
Dalam riwayat lain, bahkan beliau Shalallahu
‘Alaihi Wasalaam memerintahkan untuk shalat berjama’ah walaupun jumlah mereka
hanya 3 orang.
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri ra, ia
berkata: Berkata Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam : “Jika mereka bertiga, maka hendaklah mengimami
mereka salah seorang dari mereka. Dan yang paling berhak menjadi imam adalah
yang paling pandai membaca al-Qur’an. (HR. Muslim dalam kitab al-Masajid wa mawadhi’us shalah).
Ibnul Qayyim menjelaskan makna hadits ini bahwa sisi pendalilan hadits ini
adalah perintah untuk berjama’ah, dan perintah beliau Shalallahu ‘Alaihi
Wasalaam menunjukkan wajib hukumnya.
Yang lebih menunjukkan wajibnya shalat jama’ah
adalah ketika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam menyuruh orang yang safar
untuk shalat berjama’ah sekalipun hanya berdua . “Jika kalian berdua bepergian, maka adzanlah
salah seorang kalian kemudian dirikanlah shalat. Hendaklah mengimami kalian
orang yang lebih tua diantara kalian!” (HR. Bukhari dalam kitab al-Adzan)
7. Larangan
keluar dari masjid setelah adzan
Diantara dalil yang menunjukkan wajibnya
shalat berjama’ah adalah diharamkannya seseorang keluar dari masjid setelah
adzan dikumandangkan, kecuali setelah menunaikan shalat jama’ah.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata:
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam telah memerintahkan kepada
kami “Jika kalian berada di
masjid, kemudian diseru untuk shalat (adzan), maka janganlah salah seorang
kalian keluar hingga selesai shalat. (HR. Ahmad; berkata al-Hafidz al-Haitsami: “Rawi-rawi imam Ahmad
adalah rawi-rawi yang dipakai dalam kitab Shahih (yakni shahih Bukhari dan
Muslim -pent.) (Majma’ az-Zawaid, 2/5)
7. Meninggalkan
shalat jama’ah adalah ciri-ciri kemunafikan.
Disebutkan dalam banyak riwayat bahwa
meninggalkan shalat jama’ah merupakan salah satu dari ciri-ciri kemunafikan.
Ini menunjukkan bahwa shalat jama’ah adalah perkara yang wajib. Karena
meninggalkan sesuatu yang tidak wajib adalah tidak berdosa, maka tidak mungkin
disebutkan sebagai tanda kemunafikan.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa
Rasulullah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bersabda: “Tidak ada shalat yang lebih berat bagi seorang
munafiq melainkan shalat fajar dan shalat Isya’. Kalau saja mereka mengetahui
keutamaan yang ada pada keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya walaupun
dengan merangkak”. (HR. Bukhari, Kitabul
Adzan bab Fadllul Isya fil Jama’ah, no. 657, 2/141). Ibnu Hibban juga meriwayatkan
hadits ini dalam Shahihnya dengan memberi judul bab Dzikrul Bayan bi anna
Hataini shalataini atsqalu shalah ‘alal Munafiqiin (Keterangan bahwa 2 shalat
ini adalah yang paling berat bagi munafikin); lihat al-Ihsan fi Taqrib Shahih
Ibni Hibban, kitabus shalah, 5/ 454.
Hadits semakna yang juga mensifati seorang
yang meninggalkan shalat jama’ah dengan kemunafikan adalah apa yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dari Ubay bin Ka’ab. Ia berkata:
“Pada suatu hari ketika kami shalat shubuh, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wasalaam bertanya: “Apakah fulan hadir?”. Mereka menjawab: “Tidak”. (Kemudian
beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam menanyakan orang lain):”Apakah si fulan
hadir?” Mereka juga menjawab: “Tidak”. Kemudian Rasululla Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam
bersabda:
“Sesungguhnya dua shalat ini adalah shalat yang
paling berat atas orang munafiq. Kalau saja kalian tahu apa yang ada pada
keduanya, niscaya kalian akan mendatanginya walaupun dengan merangkak.” (HR. Abu Dawud dalam Sunan, kitabus
shalat, bab Fadllu shalatil jama’ah, no. 550, 2/259; al-Hafidz al-Mundziri
berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu
Hibban dalam Shahihnya dan Hakim. Telah ditegaskan oleh Yahya Ibnu Ma’in dan
adz-Dzuhali bahwa hadits ini shahih; lihat Targhib wa tarhib, 1/264; dihasankan
oleh Syaikh al-Albani, lihat Shahih Targhib wa tarhib, 1/238; Shahih Sunan Ibnu
Dawud, 1/111 dan Shahih Sunan an-Nasa’i, 1/183)
Juga hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani
dari Anas bin Malik ra, bahwasanya Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bersabda:
“Kalau saja seseorang dipanggil untuk makan sop
tulang atau punggung kambing, niscaya mereka akan mendatanginya. Sedangkan jika
mereka dipanggil untuk shalat berjama’ah, mereka tidak mendatanginya.
Sungguh aku sangat ingin menyuruh seseorang mengimami shalat jama’ah
bersama manusia, kemudian aku pergi kepada mereka yang mendengarkan adzan tapi
tidak mendatanginya, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka dengan api. Sungguh
tidaklah meninggalkan shalat jama’ah, kecuali munafiq”. (Berkata al-Haitsami: “Hadits ini diriwayatkan
oleh Thabrani dalam Mu’jamul Aushath. Para perawi-perawi semuanya tsiqah”.
Lihat Majma’uz Zawaid kitabus shalah bab tasydid fi tarkil jama’ah, 2/43)
Demikian pula dalam riwayat Muslim dari
Abdullah bin Mas’ud ra, ia berkata:“Barangsiapa yang suka untuk bertemu Allah kelak dalam keadaan
selamat, maka hendaklah ia menjaga shalat-shalat tersebut ketika dipanggil
kepadanya, karena sesungguhnya Allah mensyariatkan untuk nabi kalian ajaran
petunjuk. Dan sungguh shalat-shalat itu termasuk ajaran-ajaran petunjuk
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam. Jika kalian shalat di rumah-rumah
kalian seperti apa yang dilakukan oleh si mutakhallif ini di rumahnya, maka
berarti kalian telah meninggalkan ajaran nabi kalian. Jika kalian meninggalkan
ajaran nabi kalian, niscaya kalian akan tersesat. ….. Sungguh kami melihat pada
diri-diri kami waktu itu, tidak ada yang meninggalkan shalat jama’ah kecuali
seorang munafiq yang sudah dikenal kemunafikannya. (HR. Muslim, kitabul Masaajid, bab Shalatul
jama’ah min sunanil Huda, no. 654, 1/453)
Ibnu Umar ra berkata: “Kami, jika
kehilangan seseorang dalam shalat Isya’ dan shalat fajar, maka kami berburuk
sangka kepadanya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf dan al-Bazzar;
lihat Kasyful Astar. Berkata al-Haitsami: “Diriwayatkan oleh al-Bazzar, dan
perawi-perawinya terpercaya”. (Majma’uz Zawaid 2/40))
8. Ancaman kemurkaan
Allah bagi orang yang meninggalkan shalat jama’ah dengan sengaja tanpa udzur
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Abbas
dan Ibnu Umar ra bahwasanya keduanya mendengar Nabi Shalallahu ‘Alaihi
Wasalaam bersabda: “Hendaklah kaum-kaum itu
berhenti meninggalkan shalat jama’ah atau Allah akan tutup hati-hati mereka.
Kemudian jadilah mereka orang-orang yang lalai”. (HR. Ibnu Majah dalam Sunan-Nya Abwabul
Masaajid bab Taghlidh fit Takhalluf ‘Anil Jama’ah, no. 778, 1/142-143;
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani, lihat Shahih Sunan Ibnu Majah, 1/132)
Sudah dimaklumi bersama bahwa ancaman Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam terhadap suatu perbuatan menunjukkan haramnya
perbuatan tersebut. Maka Hadits ini merupakan dalil yang sangat kuat tentang
haramnya meninggalkan shalat jama’ah.
Lebih tegas lagi apa yang dijelaskan oleh
Ummul Mukminin Aisyah rah. bahwa orang yang meninggalkan shalat jama’ah
terancam kejelekan, sebagaimana diriwayatkan oleh Abdurrazzak dalam Mushanafnya
dari Aisyah rah. ia berkata: “Barangsiapa yang mendengar panggilan adzan kemudian tidak
mendatanginya, maka dia tidak menghendaki kebaikan dan tidak dikehendaki
kebaikan padanya.“ (HR.
Abdurrazzak dalam Mushannaf kitabus shalah, bab Man Sami’a Nida’ no. 1917,
1/498; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf kitabus shalawat, bab Man Qaala Idza
sami’al Munadi fal yajib, 1/345; Ibnul Mundzir dalam al-Aushath, kitabul Imamah,
bab Dzikru Takhawwufun Nifaq, no. 1903, 4/ 137; Ibnu Hazm dalam al-Muhalla,
4/274)
Demikian juga apa yang dikatakan oleh Abu
Hurairah ra. : “Kalau
telinga anak Adam dipenuhi timah panas yang meleleh, itu lebih baik daripada ia
mendengarkan adzan namun tidak mendatanginya”. (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf kitabus
shalawat, bab Man Qaala Idza sami’al Munadi fal yajib, 1/345; Ibnul Mundzir
dalam al-Aushath, kitabul Imamah, bab Dzikru Takhawwufun Nifaq, no. 1905,
4/137; Ibnu Hazm dalam al-Muhalla, 4/274)
9. Keinginan Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam untuk membakar rumah-rumah orang yang tidak
menghadiri shalat jama’ah
Diantara dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya
shalat jama’ah adalah apa yang diriwayatkan dalam hadits-hadits yang shahih
tentang keinginan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam untuk membakar rumah-rumah
orang yang tidak mau menghadiri shalat jama’ah.
Diantaranya apa yang diriwayatkan oleh Bukhari
dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam
bersabda:
“Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya,
sungguh aku sangat berkeinginan menyuruh seseorang mencari kayu bakar kemudian
dinyalakan, lalu aku perintahkan manusia shalat dan dikumandangkanlah adzan,
kemudian aku perintahkan seseorang mengimami mereka. Sedangkan aku pergi kepada
kaum laki-laki (yang tidak shalat jama’ah) kemudian aku bakar rumah-rumah
mereka. Sungguh demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya kalau saja salah
seorang dari mereka tahu bahwa mereka akan mendapatkan sekerat daging paha dan
punggung kambing yang bagus tentu mereka akan menghadiri shalat Isya’. (HR. Bukhari dalam kitabul Adzan, bab Wujubus
shalatil jama’ah, no. 644, 2/125)
Ancaman ini sangat jelas menunjukkan kewajiban
melaksanakan shalat jama’ah. Bahkan Imam Bukhari pun memberikan judul babnya
dengan kalimat “Bab wajibnya shalat jama’ah”. Sedangkan kita semua tahu bahwa
fiqihnya Imam Bukhari terlihat pada judul-judul bab dalam kitab Shahihnya.
Adapun Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya
memberikan judul “Hadits-hadits tentang penggunaan ancaman-ancaman keras Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam untuk memperingatkan orang yang tidak menghadiri
shalat Isya’ dan Shubuh berjama’ah”. (lihat al-Ihsan fi Taqrib Shahih ibni
Hibban, 5/451)
Ancaman-ancaman Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wasalaam ini bukan berlaku atas orang yang meninggalkan shalat sebagaimana
dikatakan oleh sebagian orang. Akan tetapi ancaman ini ditujukan kepada orang
yang meninggalkan shalat berjama’ah, meskipun dia shalat di rumahnya.
Dalam salah satu riwayat disebutkan secara
jelas bahwa mereka yang diancam akan dibakar rumah-rumahnya adalah mereka yang
melakukan shalat di rumah-rumah mereka.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bersabda:
“Sungguh aku sangat berkeinginan memerintahkan
para pemudaku untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku datangi suatu kaum
yang shalat di rumah-rumah mereka tanpa ada udzur dan aku bakar rumah-rumah
mereka.” (HR. Abu Dawud
dalam Kitabus shalah bab at-Tasydid fit Tarkil Jama’at, no. 545 2/253-254.
Syaikh al-Albani berkata tentang hadits ini: “Shahih tanpa kalimat لَيْسَتْ
بِهِمْ عِلَّةٌ” (Shahih Sunan Abi Dawud 1/110)
Dalam hadits di atas dijelaskan secara tegas
bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam sangat berkeinginan membakar rumah
orang-orang yang mengerjakan shalat wajib di rumahnya dan tidak berjama’ah di
masjid. Meskipun keinginan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam tersebut
tidak diwujudkan, tapi hal itu cukup sebagai peringatan dan ancaman atas mereka.
Dan tidaklah menghalangi beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam dari niatnya,
kecuali adanya wanita dan anak-anak.
Diantara para ulama yang mengambil kesimpulan
dari hadits ini tentang wajibnya shalat berjama’ah adalah:
Ibnu Hajar al-Asqalani -ketika mengomentari
hadits di atas—berkata: “Adapun hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa
shalat berjama’ah adalah fardlu ‘ain (kewajiban atas setiap individu), karena
kalau ia hanya merupakan anjuran saja, tidak mungkin beliau Shalallahu ‘Alaihi
Wasalaam mengancam dengan ancaman membakar rumah-rumah mereka. Demikian pula
kalau kewajibannya adalah hanya fardlu kifayah, maka dengan telah ditegakkannya
shalat jama’ah oleh Rasulullah dan sebagian shahabatnya, gugurlah kewajiban
bagi yang lainnya.” (Fathul Baari, Ibnu Hajar al-Asqalani, 2/125-126)
10. Akibat jelek yang
disebabkan karena tidak menyambut panggilan shalat
Termasuk dalil yang menunjukkan wajibnya
shalat jama’ah adalah ucapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang menerangkan akibat
jelek yang akan menimpa orang-orang yang dipanggil untuk sujud, tetapi mereka
menolaknya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Pada hari betis disingkapkan dan mereka
dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan
mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka
dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud dalam keadaan sehat.” (al Qalam: 42-43)
Yang dimaksud ‘Yud’auna ilas sujud’ di ayat
ini adalah panggilan untuk sujud dengan suara adzan. Yakni ketika mereka
dipanggil untuk melakukan shalat berjama’ah.
Makna ayat ini adalah orang yang tidak mau
memenuhi panggilan adzan di dunia terancam kehinaan dan akan dipermalukan pada
hari kiamat yakni ketika seluruh manusia sujud, mereka tidak dapat sujud.
Ibnu Abbas ra -Shahabat yang ahli dalam bidang
tafsir—ketika menafsirkan ayat di atas berkata: “Mereka dulu (di dunia)
mendengarkan adzan dan panggilan untuk shalat, namun tidak mengindahkannya”.
(Lihat Tafsir Ruhul Ma’ani, 29/36)
Beberapa ulama terdahulu seperti Al-Hafidh
Ibnul Jauzi, Ka’bul Akhbar, Ibrahim an-Nukhai , Ibrahim
at-Taimiy dan Fachrurrozi menyimpulkan hal yang mirip bahwa ketika mereka
diseru untuk shalat dengan adzan dan iqamah, padahal mereka dalam keadaan sehat
dan mampu untuk melakukannya (di dunia). Maka disini terdapat ancaman bagi
orang yang duduk dan meninggalkan shalat jama’ah dan tidak memenuhi panggilan
muadzin untuk shalat secara berjama’ah”
sangat bermanfaat, ijin share ya !. terima kasih
BalasHapus